Kontroversi Penggunaan Bobo, Dinas Kelautan Gagas Alternatif Lain

Rembang, Mitrapost.com Penggunaan alat penangkap ikan oleh nelayan selama ini dinilai memicu konflik di beberapa daerah di Rembang. Bahkan dalam kasus tertentu, konflik yang terjadi sempat menyulut amarah berupa kekerasan fisik hingga puncaknya pembakaran kapal.

Konflik-konflik penggunaan alat penangkap ikan tersebut menjadi sorotan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Rembang. Sebab kasus-kasus yang terjadi sempat ada yang naik hingga ke peradilan tingkat provinsi.

Kasi Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Heri Martono, menjelaskan bahwa salah satu kasus yang disoroti adalah penggunaan bobo. Penggunaan bobo, alat penangkap rajungan, memang tidak merusak habitat laut, namun dalam praktek penggunaannya selama ini menyalahi aturan.

“Bobo sebenarnya ramah lingkungan, tapi secara penggunaan tidak boleh menginap,” ujar Heri.

Baca juga:Penggunaan Cantrang Akan Dievaluasi, Ini Respons Nelayan Rembang

Cara penggunaan tersebut yang dinilai melanggar aturan. Heri bahkan mengandaikan, jika rata-rata nelayan rajungan di Rembang mempunyai 500 bobo dan diinapkan menurutnya akan mengganggu nelayan lain.

Pasalnya dalam penggunaan bobo harus dibentangkan dan ditaruh secara acak di kedalamaan tertentu. Pemasangan ini yang nantinya akan mengganggu aktivitas lain, mulai dari terbawa jaring hingga terkena baling-baling kapal.

Menurut Heri, untuk mengatasi kasus yang ada pemeritah tidak boleh saklek dengan hukum pusat.  Pihaknya mengaku kini sedang menggagas alternatif aturan yang  memudahkan dan meminimalisir konflik yang ada di Rembang.

Baca juga: Jaga Habitat Rajungan, Begini yang Dilakukan Nelayan Rembang

Alternatif tersebut berupa aturan desa desa yang berangkat dari usulan masayarakat. Yakni pendekatan kearifan lokal berupa kesepakatan bersama. Hukum kesepakatan atau kearifan lokal inilah yang ia contohkan dengan area Jepara yang lebih dulu menerapkan.

“Jepara misalnya, penggunaan bobo sudah tidak begitu. Harus ada kesepakatan antara nelayan jaring dan bobo, bahwa jam tertentu mereka harus menebar jaring maka bobonya harus diangkat,”

“Rembang sangat unik, jadi harus ada kesepakatan tadi, pakai kearifan lokal. Kalau dibenturkan dengan hukum, kasihan. Sama-sama rakyat kecil, dia dapatnya berapa, keluarganya seperti apa,” imbuhnya.

Baca juga: Meski Nonaktif, 11 Pengajuan Klaim Asuransi Nelayan Akan Dipenuhi Haknya

Menurut Heri, alternatif tersebut tidak hanya mengatasi konflik namun juga membantu dalam proses pengawasan. Pasalnya dalam proses pangawasan jika menggunakan aturan pusat, menurutnya tidak dapat terealisasi. Ini mengingat hanya ada 2 personel TNI Angkatan Laut untuk pegawasan 60 km luas laut.

Sedangkan jika menggunakan hukum yang digagas, lanjut Heri, pengawasan tidak hanya dilakukan aparat saja melainkan juga melibatkan masyarakat sipil melalui masyarakat pengawas.

“Hukum ini yang nanti kita akan diterapkan melalui perdes. Nanti kita per desa-desa kita gabungkan, (juga) lintas kecamatan,” tandasnya. (*)

Baca juga: Fasilitasi Nelayan, Dinas PUTR Pati Bangun Tambatan Kapal di Juwana

 

Jangan lupa kunjungi media sosial kami, di facebook, twitter dan instagram

Redaktur : Ulfa PS