Mitrapost.com – Harga minyak goreng diketahui naik sejak Desember 2021, kenaikan tersebut membuat banyak masyarakat bertanya apa penyebab dari kenaikan harga minyak goreng itu.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), pada 31 Desember 2021 harga rata-rata minyak goreng curah secara nasional sebesar Rp 17.800 per kilogram. Harga kemudian terus melonjak menyentuh Rp 18.800 per kilogram pada 17 Januari 2022.
Seperti yang diketahui, Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar kedua di dunia. Pembelian kembali sebagai bahan baku minyak goreng mesti disesuaikan dengan harga yang ditentukan oleh pasar internasional. Hal tersebut yang memaksa kenaikan minyak goreng tak terelakkan. Situasi tersebut merupakan konsekuensi dari perdagangan bebas yang menerapkan standar harga internasional sebagai hukum ekonomi. Sebagaimana harga sawit dan produk turunannya ditentukan oleh pasar yang antara lain berada di Rotterdam, Belanda dan Bursa Malaysia Derivative Exchange.
Penyebab lain yang mengharuskan harga minyak goreng naik ini lantaran pasokan minyak nabati di dunia terganggu. Namun, permintaan minyak nabati ini masih tinggi.
Sementara itu, harga minyak goreng sawit relative lebih rendah harganya dibandingkand engan harga minyak nabati. Hal ini menjadikan negara-negara industry lebih memilih membeli minyak sawit dan akan terus berlanjut pada tahun 2022.
Pada saat yang bersamaan, perebutan CPO untuk menjadi produk olahan selain minyak goreng juga berpengaruh besar. Sebagai contoh, program biofuel yakni pencampuran minyak nabati dengan minyak fosil untuk keperluan bahan bakar. Pemerintah sedang gencar menerapkan B30 (Biodiesel 30) dengan komposisi 30 persen biodiesel dan 70 persen solar. Diketahui kebijakan itu mengurangi porsi minyak sawit untuk pangan dalam negeri.
Selain itu, masyarakat juga perlu memperhatikan tata Kelola sawit yang dikuasai oleh korporasi. Dimana perusahaan besar menguasai kebun bahkan pabrik pengolahan yang menjadikannya ikut andil dalam kenaikan harga minyak goreng. Dalam hal ini, pemerintah harus berperan aktif dalam pengawasan, mengingat pada 2009 lalu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghukum sejumlah produsen minyak goreng untuk membayar denda dengan total nilai sebesar Rp 299 miliar. Kasus tersebut sebab adanya dugaan kartel dalam penentuan harga minyak goreng.
Perlu diketahui juga, area perkebunan kelapa sawit lebih luas dengan area perizinan yang terdaftar. Berdasarkan identifikasi citra satelit tutupan lahan perkebunan sawit diperkirakan seluas 16,3 juta hektar yang berada di 26 provinsi. Sementara lahan perkebunan sawit dalam daftar perizinan hanya berkisar 14,6 juta hektar. Dapat hitung, selisih area kelapa sawit yang mendapatkan izin dan yang real berselisih 1,7 juta hectare.
Upaya perbaikan harus dilakukan untuk menyikapi bebrapa penyebab yang menjadikan harga minyak goreng melambung tinggi. Peran pemerintah untuk menstabilkan harga perlu dilakukan dengan cara menggelar berbagai operasi pasar. Upaya ini dapat dikatakan belum berhasil karena harga minyak goreng masih cukup tinggi. Kendati Menko Perekonomian dan Menteri Perdagangan telah mendorong dan melibatkan 70 produsen minyak goreng dan sekitar 200 pengemas untuk menyediakan minyak kemasan sederhana sebanyak 11 juta liter dengan harga Rp 14.000 per liter. Sesungguhnya harga minyak goreng untuk operasi pasar jauh lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang masih berlaku yakni sebesar Rp 11.000 per liter.
Namun peraturan tersebut hendak diubah, Kementerian Perdagangan justru berencana akan mengubah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 yang mengandung aturan HET minyak goreng kemasan sederhana ditingkat konsumen menjadi Rp 14.000 per liter.
Angga Hermanda Ketua Departemen di Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI)
Artikel ini telah tayang di Detik News dengan judul “Mengurai Polemik Harga Minyak Goreng”
Redaksi Mitrapost.com