Jakarta, Mitrapost.com – Pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), Golongan Karya (Golkar) memutuskan usung Ketua Umum (Ketum) Airlangga Hartarto sebagai calon presiden (capres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang akan datang.
Namun, menurut berbagai lembaga survei politik, elektabilitas Airlangga selama ini tak pernah masuk dalam tiga besar capres.
Menurut hasil survei Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) pada Juli 2022 menempatkan Airlangga di posisi kelima dengan elektabilitas 3,59 persen. Angka tersebut mengalami peningkatan dibanding awal Juli lalu yang elektabilitasnya hanya kurang lebih 1 persen.
Menurut pernyataan pengamat Politik Universitas Padjajaran (Unpad) Idil Akbar, keputusan Golkar mengusung sang Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian berdampak pada terhambatnya langkah politik Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), apalagi koalisi tersebut berisi partai lain, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Ia berasumsi bahwa KIB akan bubar jika keputusan mengusung Airlangga jadi keputusan final. Pasalnya, Airlangga tak memiliki jaminan kuat untuk memenangkan kandidasi capres. Apalagi majunya Airlangga tak akan menguntungkan PPP dan PAN.
“Kemungkinan kalau memaksakan, KIB akan bubar di tengah jalan juga sangat mungkin, bagaimanapun setiap partai politik berupaya untuk menang. Semua partai politik bertujuan jadi pemenang,” ujar Idil, Kamis (4/8/2022).
Selain berpengaruh pada problem koalisi, diusungnya Airlangga juga menurutnya berpengaruh pada gejolak internal.
Sedangkan menurut Pengamat Politik Charta Politika Yunarto Wijaya, KIB berpotensi bubar jika setiap partai kukuh mengusung ketua umum masing-masing. Yunarto menyebut pencalonan presiden dengan mengusung kader salah satu partai justru akan menjadi kerugian besar bagi partai lain dalam koalisi.
Ia merumuskan syarat yang ideal untuk mengajukan capres yakni, calon harus kuat dan calon harus seimbang dari partai-partai anggota koalisi.
Yunarto melihat ketum partai anggota KIB, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Suharso Monoarfa tidak memiliki elektabilitas kuat untuk jadi capres.
“Peluang untuk sosok yang bukan ketum atau kader partai itu malah lebih mungkin untuk dijadikan capres, karena tidak akan merugikan atau menguntungkan salah satu partai,” kata Yunarto.
Menurutnya, jika KIB pada akhirnya berkompromi dan mencalonkan salah satu kader partai, salah satunya Airlangga, menaikkan elektabilitas figur menjadi pekerjaan rumah besar.
Ia berpendapat mesin partai dan calon wakil presiden (cawapres) adalah faktor sekunder dalam keterpilihan presiden.
“Suara mesin partai itu adalah faktor sekunder, elektabilitas sosok itu dalah faktor primer. Jadi ketika elektabilitas sosok yang diajukan rendah walaupun mesin politiknya kerja, itu tidak akan mampu untuk menutupi,” tuturnya.
Baginya tak ada sosok cawapres yang mampu mendongkrak capres dengan elektabilitas yang rendah. Ia mengatakan ‘magnet utama’ dalam pilpres adalah sosok capres itu sendiri.
Namun, Yunarto tak sepakat dengan Idil soal potensi gejolak di internal Golkar. Menurut dia, perpecahan di tubuh Golkar yang beberapa kali terjadi bukan disebabkan pencapresan.
Ia menyinggung soal perseteruan antara Abu Rizal Bakrie dengan Agung Laksono yang justru bukan berkaitan dengan pencapresan kader.
Sementara itu, hasil perolehan suara Golkar di tengah gejolak internal itu tetap tertinggi karena Golkar memiliki rekam jejak historis yang cukup bagus.
“Golkar ini partai yang besar karena infrastruktur, bukan partai tokoh. Bukan partai besar karena ketumnya atau capresnya, tapi ketika dia kalah dalam pilpres, dia nggak pernah terlempar dari tiga besar. Karena partai ini besar sebagai sebuah infrastruktur yang sudah 30 tahun dan menguasai infrastruktur puluhan tahun,” jelas Yunarto.
Ia menyarankan daripada Golkar memaksakan kadernya maju capres di Pemilu 2024, sebaiknya infrastruktur partai dikuatkan lebih dulu. (*)
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul “Menerka Kekuatan KIB Kala Golkar Paksa Usung Airlangga Jadi Capres.”
Redaksi Mitrapost.com