Jakarta, Mitrapost.com – Pasokan batu bara kembali merosot. Kekurangan tersebut bakal berdampak pada industri dalam negeri, terutama PT Perusahaan Listrik Negara (persero) atau PLN.
Penyebab kekurangan pasokan batu bara ditengarai banyaknya pengusaha yang lebih suka ekspor batu bara ke negara lain dibandingkan memenuhi Domestic Market Obligation (DMO) batu bara. Langkah tersebut dipilih supaya pengusaha mendapat keuntungan yang lebih menjanjikan.
Diketahui, harga batu bara internasional sudah menyentuh level di atas US$340 per ton. Adapun harga batu bara ICE Newcastle pada Senin (8/8/2022) lalu mencapai US$349,5 per ton.
Sementara, harga DMO di sektor kelistrikan hanya US$70 per ton, sedangkan harga DMO di sektor non kelistrikan US$90 per ton.
“Ini mengakibatkan potensi industri dalam negeri bisa mengalami kekurangan,” ujar Arifin dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Selasa (9/8/2022).
Kacaunya lagi krisis batu bara terjadi dikala kebutuhan listrik dalam negeri meningkat. Padahal, Kementerian ESDM sebenarnya telah memberikan penugasan tambahan alokasi batu bara sebesar 31,8 juta metrik ton (MT) sepanjang Januari hingga Juli 2022.
“Namun, dari penugasan tersebut efektivitasnya sekitar 45 persen, yaitu 14,3 juta MT yang sudah berkontrak dari tambahan tersebut,” ungkapnya,
“Kami melihat tren semakin menurun. Artinya, kalau kondisi ini dibiarkan berlarut-larut maka kondisi yang tadinya aman bisa bergeser jadi kondisi krisis kembali,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan besarnya disparitas harga batu bara internasional dengan tarif untuk DMO menyebabkan pemasok enggan untuk melanjutkan kontrak dengan PLN. Selain itu, keengganan mereka disebabkan adanya sanksi yang tidak main-main apabila pengusaha gagal memasok.
Diketahui, Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 13 Tahun 2022 Tentang Pedoman Pengenaan Sanksi Administratif, Pelarangan Penjualan Batu Bara Ke Luar Negeri, Dan Pengenaan Denda Serta Dana Kompensasi Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri, besarnya penalti yang dikenakan pada pengusaha jika gagal memasok batu bara sebesar 10 kali lipat dibanding tidak melakukan kontrak dengan PLN.
Dalam Kepmen tersebut, penambang yang berkontrak dengan PLN akan terkena penalti berupa denda yakni sebesar harga pasar ekspor dikurangi harga batu bara dengan patokan harga batu bara acuan (HBA) US$70 per MT.
“Untuk pembayaran kompensasi hanya berdasarkan HBA dengan tarif kompensasi tertinggi US$18 per MT untuk batu bara dengan GAR 3.800 – 5.000 yang besarannya lebih rendah dari denda yang dibayarkan pemasok yang berkontrak dengan PLN,” jelas Mamit.
Karenanya, Mamit mendorong agar pemerintah perlu segera melakukan revisi Kepmen ESDM No 13 Tahun 2022 tersebut agar prinsip keadilan bagi produsen batu bara di Indonesia bisa berjalan dengan baik. Menurutnya, jangan sampai karena aturan denda yang besar produsen enggan berkontrak dengan PLN.
“Jangan terucap lebih baik bayar kompensasi tapi masih untung besar daripada berkontrak dengan PLN dan sudah membantu demi merah putih dan perekonomian nasional tapi kalau ada kegagalan malah didenda dengan jumlah yang besar,” ujar Mamit.
Selain melalui revisi Kepmen ESDM 13 Tahun 2022, salah satu upaya untuk menjaga pasokan batu bara bagi PLN dan industri lain dalam negeri lainnya adalah dengan segera disahkannya Badan Layanan Umum (BLU) batu bara. Melalui implementasi BLU, menurut Mamit akan tercipta ekosistem industri batu bara yang sehat dan berkesinambungan.
Ia menerangkan melalui implementasi BLU, PLN tetap membeli dengan harga US$70 per MT dari pengusaha. Sementara, pengusaha menjual batu bara kepada PLN sesuai dengan harga pasar atau HBA.
Nantinya, selisih HBA dikurangi US$70 per MT dibayarkan langsung oleh BLU kepada para pengusaha. Adapun BLU akan mendapatkan dana dari iuran yang dibayarkan secara gotong royong oleh seluruh pengusaha batu bara sesuai dengan volume penjualan ekspor dan nilai kalori batu bara.
“Bagi PLN, BLU membuat pasokan batu bara menjadi terjamin, BPP (Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik) tidak mengalami kenaikan serta tidak ada risiko arus keuangan. Bagi produsen batu bara, kehadiran BLU membuat tidak ada lagi distorsi harga dan seluruh penambang gotong royong memikul beban kewajiban DMO,” kata Mamit.
Terkait BLU batu bara, pemerintah sendiri masing menggodok pembentukannya. Saat ini, BLU ini sudah tahap finalisasi dan sedang menunggu izin prakarsa. Artinya, payung hukum BLU batu bara belum ditentukan apakah akan dalam bentuk peraturan pemerintah (pp) atau peraturan presiden (perpres).
Mamit mengatakan payung hukum untuk BLU batu bara bisa saja dalam bentuk perpres. Nantinya, perpres itu pun akan mengatur besaran iuran dan mekanisme sanksi jika ada pengusaha yang tidak memenuhi iuran.
Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan jika mengacu pada kasus krisis batu bara di awal tahun ini, kunci penyelesaiannya itu ada pada penyelarasan ataupun koordinasi dari pihak yang ditugasi untuk memantau bagaimana pelaku usaha ini menjalankan DMO.
Terlebih, kebutuhan batu bara dalam negeri tidak hanya untuk PLN, tapi juga untuk industri tekstil, kertas, semen, hingga pupuk.
“Dengan BLU ini diharapkan pasokan batu bara itu tersedia untuk ditransmisikan sebagai bahan baku pembangkit listrik, dan saya kira dengan adanya BLU ini proses pengawasan juga akan menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya,” kata Yusuf.
Kemudian, terkait kesanggupan BLU dalam menutup kompensasi harga, menurutnya akan dipengaruhi oleh beberapa hal. Termasuk di dalamnya tarif pungutan yang akan digunakan nanti dan pergerakan dari harga batu bara itu sendiri.
Yusuf menuturkan yang harus diperhatikan dalam pembentukan BLU batu bara ini adalah sistem pengendalian dari internalnya. Jika sistem pengendalian internal tidak bisa bekerja secara baik, maka layaknya organisasi lain, BLU berpotensi untuk tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Apalagi kita tahu bahwa BLU ini adalah bentuk baru terutama kalau kita bicara konteks untuk kasus supply dari batu bara ini,” kata dia.
Berbeda dengan Mamit, Yusuf berpendapat payung hukum untuk BLU batu bara sebaiknya dikeluarkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). Pasalnya, pp secara hierarki lebih tinggi dari perpres.
Dengan demikian, ketika pergantian pemerintah kebijakan ini dapat terus berjalan tanpa ada intervensi untuk mengubah aturan tersebut. Mengingat, sebentar lagi Indonesia akan memasuki tahun politik.
“PP sifatnya lebih mengikat dan lebih tinggi dibandingkan perpres, sehingga nantinya ketika pergantian pemerintah kebijakan ini bisa terus berjalan tanpa adanya intervensi untuk mengubah kebijakan tersebut,” pungkas Yusuf. (*)
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul “Ancaman Krisis Batu Bara PLN dan Lembek Sikap Pemerintah ke Pengusaha.”
Redaksi Mitrapost.com