Mitrapost.com – Kini muncul istilah quiet firing yang dilakukan oleh para atasan dalam melawan quiet quitting atau para karyawan yang hanya bekerja seperlunya.
Quiet firing merupakan tindakan pemecatan yang dilakukan diam-diam tanpa adanya teguran dan sanksi yang diberikan manajemen sebelumnya.
Meskipun istilah quiet firing baru-baru ini menjadi tren. Namun pada kenyataannya, hal ini sudah terjadi sejak lama. Misal saja saat perusahaan ingin melakukan efisiensi, maka biasnya mereka akan melakukan PHK.
Contoh lain quiet firing adalah memecat seseorang secara tidak langsung dengan menggunakan taktik curang, sehingga karyawan tersebut akhirnya dengan sukarela keluar.
Misalnya tidak memberikan kebutuhan karyawan atau memberi beban kerja yang berlebihan. Hingga pada akhirnya mereka memutuskan resign.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan pakar perekrutan Bonnie Dilber.
“Akhirnya Anda akan merasa sangat tidak kompeten, terisolasi, dan tidak dihargai sehingga Anda akan mencari pekerjaan baru, dan mereka tidak pernah harus berurusan dengan rencana pengembangan atau menawarkan pesangon,” ujarnya.
Praktik quiet firing juga kemungkinan dilakukan dengan menciptakan lingkungan kerja yang toxic yang membuat pekerja menjadi ingin keluar dari perusahaan.
“Membuat orang tersebut ingin pergi, dengan menggunakan taktik yang menurunkan harga diri, menjatuhkan kepercayaan diri, dan membuatnya kelelahan,” kata Cara de Lange, pakar burnout internasional.
Ada juga cara lebih halus yang dilakukan atasan dalam melakukan quiet firing yaitu memberikan umpan balik yang sedikit kepada karyawan, tak ada pembicaraan mengenai pengembangkan karier, tidak memberikan apreasiasi atas capaian kerja, hingga tidak melibatkan karyawan dalam rapat.
Alasan atasan melakukan quiet firing bisa saja terjadi karena alasan politis seperti atasan yang tak menyukai karyawan tersebut atau sang karyawan dianggap menghalangi kariernya.
“Quiet firing benar-benar terjadi. Terkadang, keputusannya bersifat politis, seperti ketika atasan memiliki favorit dan bukan Anda — dan [mereka] mendorong Anda keluar,” kata Gorick Ng, penasihat karir di Harvard College.
Namun alasan lain yang mungkin mendasari hal ini adalah karena karyawan tak menunjukkan kinerja yang baik meskipun telah diberikan umpan balik.
“Mungkin manajer Anda mencoba memberi Anda umpan balik, tidak melihat perubahan perilaku yang mereka inginkan dalam timeline yang mereka harapkan, [dan] jadi menyerah,” ujar pengajar di University of California, Berkeley. (*)