Mitrapost.com – Salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya kesaksian dari pihak-pihak lain. Saksi tersebut harus dapat dipercaya dan dapat menyaksikan secara langsung proses ijab kabul pernikahan.
Berdasarkan hadits riwayat Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda, “Sebuah pernikahan tidak dianggap sah kecuali dengan kehadiran wali serta dua orang saksi yang adil.”
Sementara itu, ketentuan saksi pernikahan juga dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Pasal 10 ayat 3 Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, “Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.”
Kemudian, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa keberadaan saksi perkawinan merupakan salah satu elemen pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap perkawinan wajib dihadiri oleh dua orang saksi.
Untuk menjadi saksi pernikahan, pihak yang ditunjuk perlu memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;
Beragama Islam. Mazhab Al-Hanafi, Al-Maliki, Asy-Syafi’i, dan Al-Hanbali sepakat bahwa salah satu syarat saksi perkawinan adalah beragama Islam. Ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 141 yang berbunyi;
وَلَنْ يَجْعَل اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
wa lay yaj’alallāhu lil-kāfirīna ‘alal-mu`minīna sabīlā
Artinya: “Allah tidak akan pernah memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir untuk menghancurkan orang-orang yang beriman.”
Berakal atau tidak mengalami gangguan kejiwaan atau kelainan mental.
Laki-laki baligh atau laki-laki yang telah mencapai kedewasaan minimal.
Adil, artinya tidak melakukan dosa besar dan tidak membiasakan dosa kecil atau orang yang kebaikannya lebih dominan dari keburukannya, serta yang yang memiliki muru’ah dan tidak dalam keadaan tertuduh.
Merdeka atau bukan budak atau bukan hamba sahaya. (*)
Redaksi Mitrapost.com






