SMJTimes.com – Di tengah hiruk-pikuk hidup modern, banyak orang merasa kelelahan secara emosional, mental dan fisik, hingga terkadang muncul pertanyaan antara burnout atau depresi.
Keduanya memang sering kali memiliki gejala yang mirip, seperti kelelahan, kurang motivasi, dan perubahan suasana hati. Namun, penting memahami perbedaannya agar kita bisa mengambil langkah penanganan yang tepat.
Burnout, menurut World Health Organization (WHO) adalah sindrom yang muncul akibat stres kronis di tempat kerja yang tidak berhasil dikelola. Ciri khasnya adalah kelelahan ekstrem, rasa sinis terhadap pekerjaan dan penurunan performa profesional.
Seseorang yang burnout biasanya masih bisa menikmati hal-hal di luar konteks pekerjaan, misalnya berkumpul dengan teman, menonton film atau melakukan hobi. Tapi saat menyentuh ranah pekerjaan, mereka merasa jenuh, kehilangan semangat bahkan kadang ingin menyerah.
Sementara itu, depresi adalah gangguan kesehatan mental yang mencakup spektrum lebih luas dari kehidupan.
Dilansir dari Mayo Clinic, depresi ditandai dengan perasaan sedih yang berkepanjangan, hilangnya minat pada aktivitas yang dulu menyenangkan, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, hingga pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Depresi tidak terbatas pada pekerjaan saja, tapi bisa menyelimuti seluruh aspek kehidupan dan membuat mereka merasa kosong bahkan dalam situasi yang seharusnya membahagiakan.
Burnout bisa menjadi pintu masuk menuju depresi jika tidak segera ditangani.
Seseorang yang burnout selama berbulan-bulan dan tidak mendapatkan dukungan emosional atau waktu istirahat yang cukup bisa mengalami keputusasaan, merasa tidak berharga, lalu terjebak dalam pola pikir negatif yang lebih dalam.
Hal ini dinilai penting untuk mengenali gejala sejak dini, bukan hanya menganggap semua kelelahan adalah burnout semata.
Ada pula perbedaan dalam penanganannya. Burnout bisa diatasi dengan perubahan gaya kerja, mengatur ulang prioritas atau mengambil cuti untuk pemulihan.
Sedangkan depresi membutuhkan pendekatan yang lebih dalam melalui psikoterapi, konseling atau dalam beberapa kasus, pengobatan medis. Dalam kondisi ini, bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater sangat dibutuhkan.
Sayangnya, masih banyak yang menyepelekan keduanya karena stigma atau kurangnya pemahaman. Padahal, mengenali dan mengakui bahwa kita butuh istirahat adalah bentuk keberanian. (*)

Redaksi Mitrapost.com