Mitrapost.com – Ketika Jepang mengusir Belanda dari Indonesia tahun 1942, banyak rakyat Indonesia awalnya menyambut kedatangannya dengan harapan akan terbebas dari belenggu kolonial. Namun harapan itu cepat berubah menjadi kekecewaan.
Jepang yang juga negara imperialis datang bukan untuk membebaskan, melainkan mengeksploitasi sumber daya dan tenaga rakyat demi kepentingan Perang Asia Timur Raya.
Selama tiga setengah tahun pendudukan, rakyat Indonesia hidup dalam tekanan dan penderitaan. Beras dirampas, sekolah dibatasi dan jutaan orang dipaksa kerja paksa sebagai romusha.
Perempuan-perempuan Indonesia dipaksa menjadi jugun ianfu, budak seks bagi tentara Jepang.
Sejarawan Ong Hok Ham menjelaskan bahwa pendudukan yang tercatat sebagai masa kalam ini menjadi penderitaan rakyat di bawah Jepang yang lebih berat dibanding masa kolonial Belanda.
Namun di balik kekejaman itu, Jepang tanpa sadar membuka peluang baru. Jepang melarang bahasa Belanda dan mulai mempromosikan bahasa Indonesia di lembaga pendidikan dan pemerintahan.
Banyak pemuda Indonesia juga diberikan pelatihan militer melalui organisasi seperti Pembela Tanah Air (PETA) yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Para tokoh nasional seperti Soekarno dan Hatta juga diberi ruang untuk tampil dan menyuarakan semangat kemerdekaan meski dalam batas-batas propaganda Jepang.
Menjelang kekalahannya pada tahun 1945, Jepang semakin terdesak. Dalam usaha merebut hati rakyat, Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia.
Pada 7 Agustus 1945, mereka membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai lembaga untuk mempersiapkan kemerdekaan, meskipun secara teknis mereka masih mengendalikan prosesnya.
Namun, peran ini tetap membuka jalan. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, pemuda Indonesia melihat peluang dan mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Maka pada 17 Agustus, proklamasi itu pun dikumandangkan.
Jadi, hubungan Jepang dengan kemerdekaan Indonesia memang rumit. Di satu sisi penuh penindasan, di sisi lain membuka ruang yang tak disengaja untuk lahirnya sebuah negara merdeka.
Seperti kata sejarawan George McTurnan Kahin, “pendudukan Jepang menciptakan kondisi psikologis dan struktural yang mempercepat kebangkitan nasionalisme Indonesia.” (*)

Redaksi Mitrapost.com