Mitrapost.com – Angkringan sudah menjadi bagian khas budaya nongkrong di berbagai kota, terutama di Jawa. Tempat sederhana dengan gerobak kayu, tikar, dan pilihan menu yang merakyat seperti nasi kucing, gorengan, serta wedang jahe mampu memiliki daya tarik kuat bagi masyarakat.
Fenomena ini sudah menjadi gaya hidup bagi banyak orang, utamanya anak muda.
Dalam Jurnal Neo Societal, gaya hidup menjadi adaptasi individu terhadap kondisi sosial dalam rangka pemenuhan kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain, salah satunya melalui budaya nongkrong di angkringan.
Bagi anak muda, nongkrong di angkringan membuat mereka berinteraksi dengan orang lain tanpa meninggalkan rasa persaudaraan. Rasa persaudaraan muncul dari efek emosional yang saling menyatu.
Duduk berhadapan, minum kopi di atas meja yang sama, bertatapan muka dan kontak mata menciptakan hubungan sosial emosional antara satu dengan lainnya yang mampu membentuk rasa kepedulian.
Hal ini membuat suatu perkumpulan mampu menciptakan suasan yang hangat dan egaliter yang jarang tercipta di café modern. Kebanyakan angkringan menjadi pilihan karena seseorang tidak akan dipandang berdasarkan status sosialnya.
Selain itu, harga yang ramah di kantong juga menjadi faktor besar. Tanpa mengeluarkan banyak uang, anak muda bisa duduk lama sambil ngobrol, bercanda, atau hanya sekadar menikmati musik jalanan yang hadir di sekitar angkringan.
Angkringan juga sering dijadikan ruang diskusi santai yang memunculkan banyak ide, obrolan serius, bahkan rencana besar. Bagi anak muda, nongkrong di angkringan bukan hanya melepas penat, tetapi juga sebagai ajang bertukar pikiran. (*)

Redaksi Mitrapost.com