Mitrapost.com – Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia berinteraksi. Pesan singkat, media sosial, hingga surat elektronik kini menjadi sarana utama komunikasi, baik dalam konteks personal maupun profesional.
Di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan baru terkait etika berkomunikasi. Tanpa tatap muka langsung, pesan kerap disalahartikan dan berpotensi menimbulkan konflik apabila tidak disampaikan dengan bijak.
Melansir dari laman Telkom University, etika dalam komunikasi digital pada dasarnya berangkat dari prinsip saling menghormati. Pengguna perlu menyadari bahwa di balik setiap akun atau alamat surel terdapat individu nyata dengan perasaan dan hak yang sama.
Oleh karena itu, penggunaan bahasa yang sopan, jelas, dan tidak merendahkan menjadi fondasi utama. Pemilihan kata sebaiknya disesuaikan dengan konteks dan lawan bicara, terutama dalam ruang profesional atau forum publik.
Menjaga etika juga berarti memahami batasan privasi. Informasi pribadi, baik milik sendiri maupun orang lain, tidak semestinya disebarkan tanpa izin. Kebiasaan membagikan tangkapan layar percakapan, data pribadi, atau isu sensitif dapat berdampak hukum dan merusak kepercayaan.
Di ruang digital yang jejaknya sulit dihapus, kehati-hatian menjadi keharusan. Selain itu, etika komunikasi digital menuntut sikap bertanggung jawab terhadap informasi yang disampaikan.
Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi kerap bermula dari pesan yang dibagikan tanpa verifikasi. Membiasakan diri untuk memeriksa kebenaran informasi sebelum membagikannya merupakan bentuk etika sekaligus kontribusi positif bagi ruang digital yang sehat.
Kecepatan dalam merespons juga perlu diimbangi dengan kebijaksanaan. Tidak semua pesan harus dijawab secara instan, terutama ketika emosi sedang tidak stabil. Mengambil jeda sebelum membalas pesan dapat mencegah kesalahpahaman dan menjaga kualitas komunikasi. (*)

Redaksi Mitrapost.com






