Mitrapost.com – Negara Israel merupakan satu-satunya negara di dunia yang dihuni oleh mayoritas penganut agama Yahudi.
Selain itu, negara ini berdiri karena ada gerakan politik yang lahir pada zamannya, yang disebut Zionisme.
Sejarah berdirinya negara Israel cukup panjang. Oleh sebab itu, simak pembahasan berikut:
Dipelopori Seorang Jurnalis
Seorang tokoh asal Hungaria berdarah Yahudi bernama Theodor Herzl mempropagandakan seruan Negara Yahudi yang merdeka. Ia mennyerukan gerakan tersebut melalui pamflet-pamflet yang berjudul Der Judenstaat.
Berawal dari pamflet tersebut, misi untuk meraih kebebasan seketika merebak.
Usaha Herzl bukan main-main, dirinya membawa harapan untuk setiap orang Yahudi Eropa yang merasa tersisih, dikucilkan, dan mengalami diskriminasi untuk serius mewujudkan kemerdekaan.
Seorang jurnalis itu menghimpun kelompok demi kelompok Yahudi Eropa untuk menginginkan sebuah negara yang berdiri di tanah yang diyakini memiliki ikatan sejarah maupun budaya Yahudi.
Menghimpun Organisasi Zionis
Pada abad ke-20, Theodor Herzl menjadi ketua dalam gerakan politik Organisasi Zionis. Dirinya menginisiasi penyelenggaraan Kongres Zionis Pertama pada 29 Agustus 1897.
Dikutip dari Jewish Virtual Library, kongres Zionis Pertama disebut Herzl sebagai sebuah parlemen simbolis bagi mereka yang bersimpati pada pelaksanaan tujuan-tujuan politik Zionis. Awalnya kongres tersebut diadakan di Kota Munich, namun ditentang oleh oposisi Yahudi lainnya.
Kemudian pihaknya berpindah ke Kota Basel Swiss untuk menyelenggarakan kongres perdananya, tepatnya di aula konser Casino Muncipal. Kongres diadakan pada 29-30 Agustus 1897.
Terdapat 200 orang yang datang dari 17 negara di kongres tersebut. Sayangnya, pada kongres pertama ini perempuan yang berpartisipasi juga tidak diberi hak suara.
Mereka merumuskan Program Basel yang mengandung 4 butir manifesto dasar-dasar Zionisme dan pengesahan Organisasi Zionis itu sendiri. Salah satu misi gerakan ini adalah mendirikan sebuah rumah bagi orang-orang Yahudi di Eretz Israel (Tanah Israel).
Kemudian, Hatikvah yang liriknya ditulis oleh Naftali Herz Imber ditetapkan sebagai lagu nasional kebangsaan sejak 1878.
Singkat cerita, Kongres Zionis Kedua pun diadakan. Herlz sendiri masih menjadi ketua Organisasi Zionis dan giat melakukan lobi-lobi politik bersama anggota Zionis lainnya. Upaya tersebut tak lain dan tak bukan untuk menggalang dana serta dukungan merealisasikan migrasi ke negara Yahudi.
Hingga pada tanggal 26 Agustus 1903 saat Kongres Zionis Keenam di Basel diselenggarakan, Herzl mengusulkan Afrika Timur sebagai tempat yang aman untuk orang-orang Yahudi bermukim. Wilayah itu dulu merupakan teritori Uganda yang kini sudah masuk menjadi bagian dari Kenya. Usulan skema ini bergulir menjadi sebuah kontroversi dalam internal Organisasi Zionis sendiri.
Uganda Diusulkan Menjadi Negara Yahudi
Skema Uganda mengejutkan dan kontroversial. Proposal itu segera disalahpahami sebagai upaya untuk mengubur impian orang-orang Yahudi mendirikan negara Zionis di wilayah Timur Tengah.
Herzl meminta hadirin mempertimbangkan opsi Uganda secara serius. Sementara debat terus berlanjut hingga Zionis Rusia melakukan demonstrasi menentang skema ini. Bahkan pemungutan suara dalam internal kongres menghasilkan sebanyak 295 suara delegasi setuju, 178 menentang dan 98 lainnya golput.
Pada peralihan ke abad ke-20, kekerasan terhadap komunitas Yahudi Eropa tengah merebak. Salah satunya adalah serangan terhadap Komunitas Yahudi Kishinev pada 6 April 1903.
Serangan ini makin menguatkan gelombang pandangan akan perlunya negara Israel modern untuk menghadapi gelombang anti-semit.
Berdasarkan Center for Religion and Geopolitics, gagasan migrasi Yahudi menuju Uganda tak berasal dari pemikiran murni Herzl, melain kan usulan dari menteri urusan kolonial Inggris, Joseph Chamberlain pada 1902.
Saat itu, Herzl meyakinkan Chamberlain untuk mengizinkan adanya pemukiman Yahudi di Siprus atau daerah Sinai sebagai solusi sementara bagi orang-orang Yahudi.
Keduanya bertemu lagi pada April 1903, Chamberlain mengajukan proposal tentang pemukiman Yahudi di Afrika Timur seluas 15.500 kilometer persegi, yang saat itu berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris.
Mulanya Herzl menolak usulan tersebut. Namun rencana bermukim di Sinai tidak direstui Inggris. Selain itu, Herz juga menjaga hubungan baik antara gerakan Zionis dengan Inggris yang dipandang bisa membantu memberi solusi.
Inggris segera membantu mengurus segala keperluan pembentukan pemukiman Yahudi di Afrika Timur. Diketahui daerah tersebut memiliki otonomi sendiri.
Segala persiapan beserta surat-surat pendukung dan restu dari Inggris kemudian dibawa Herzl ke Kongres Zionis Keenam hingga menimbulkan reaksi keras dari kubu penentang yang menganggap usul Herlz sangat berlawanan dengan dasar Zionisme.
Perpecahan terjadi, Organisasi Teritori Yahudi (ITO) memisahkan diri dari Organisasi Zionis. Kelompok ini tumbuh dipimpin oleh Yahudi Inggris bernama Israel Zangwill. Mereka memiliki pandangan bahwa pemukiman Yahudi boleh berada di berbagai belahan dunia, tidak merujuk pada suatu tempat yang spesifik dan tak bisa diubah.
Peristiwa penembakan yang menewaskan Max Nordau, wakil presiden Organisasi Yahudi sekaligus orang kepercayaan Theodor Herzl merupakan aksi perlawanan berdarah yang paling diingat dari penentangan proposal Uganda.
Dalam sebuah perayaan Hanukkah di Paris pada 19 Desember 1903, seorang pemuda bernama Zelig Louban menembak Nordau sambil berteriak “Matilah kau Nordau, Afrika Timur.”
Kelanjutan rencana kepindahan orang-orang Yahudi Zionis ke Afrika Timur akhirnya ditolak dalam Kongres Zionis Ketujuh pada 1905. Organisasi Zionis menegaskan kembali komitmen mereka untuk mendirikan sebuah tanah air Yahudi di wilayah Palestina.
Meninggalnya Sang Pelopor
Theodor Herzl tutup usia pada tahun 1904 di usianya yang baru 44 tahun. Pria kelahiran Pest, Hungaria ini tak sempat melihat penolakan selanjutnya dari skema Uganda yang diajukannya, sekaligus melewatkan peristiwa kematian orang dekatnya, Max Nordau.
Sebenarnya ada banyak proposal yang diajukan untuk pendirian sebuah negara Yahudi pasca penghancuran Israel kuno.
Selain di wilayah Afrika Timur, sebelum Theodor Herzl, Mordecai Manuel Noah pada tahun 1820 pernah mengusulkan wilayah Ararat yang kini masuk dalam bagian negara Turki untuk menjadi tanah air bangsa Yahudi.
Sebuah wilayah di Uni Soviet juga pernah diajukan menjadi negara Yahudi, namun menguap seiring bubarnya Uni Soviet.
Fugu juga pernah diusulkan untuk memindahkan Yahudi ke wilayah pendudukan Imperium Jepang juga pernah diusulkan.
Madagaskar sempat diajukan di era Nazi Jerman sebagai tempat penampungan paksa orang Yahudi Eropa.
Dipilihnya Palestina Sebagai Tanah Tujuan
Pada September 1917, dokter Yahudi Rusia bernama M.L. Rothstein pernah mengusulkan sebelah timur Semenanjung Arab, tepatnya di Al-Hasa, menjadi tempat bangsa Yahudi bermukim. Sederet nama lainnya di berbagai belahan bumi pernah diajukan, namun tak pernah benar-benar terealisasi. Palestina dianggap masih ideal sebagai tanah air sesuai dengan cita-cita awal Organisasi Zionis.
Melalui Deklarasi Balfour I yang berisikan surat Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour kepada Organisasi Zionis pada November 1917, untuk pertama kalinya Inggris merestui orang-orang Yahudi di Eropa untuk bermukim di wilayah Palestina.
Secara resmi pemerintah Britania Raya mendukung rencana Zionis mendirikan tanah air di Palestina.
Inggris sendiri berani memberi jalan pulang bagi gerakan Zionis mengingat Perjanjian Sykes-Picot telah diteken oleh pemerintah Inggris, Perancis dan juga Kekaisaran Rusia pada 1916. Perjanjian ini membahas pembagian wilayah di Asia Barat termasuk juga nasib wilayah Palestina dan sekitarnya, mengingat keruntuhan Kekhalifahan Turki Ottoman sudah di depan mata. (*)
Artikel ini telah tayang di tirto.id dengan judul “Negara Israel Nyaris Didirikan di Uganda.”
Redaksi Mitrapost.com