Mitrapost.com – Sebuah peristiwa pengeboman atom Kota Hiroshima Jepang yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) mencetak sejarah baru bagi Negara Indonesia. Pasalnya, kejadian tersebut menguntungkan Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaannya yang saat itu sempat dikuasai oleh penjajahan Jepang.
Namun, di sisi lain peristiwa tersebut ternyata begitu membekas di hati masyarakat Jepang hingga dijadikan upacara peringatan untuk mengenang sekaligus mencegah terulangnya peristiwa tersebut di masa mendatang.
Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus dan di Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945 meninggalkan kehancuran dahsyat yang mengakibatkan jumlah kematian akut dalam kurun waktu empat bulan setelahnya.
Korban diperkirakan mencapai 110.000 (33 persen dari populasi) di Hiroshima, dan 70.000 (28 persen dari populasi) di Nagasaki.
Mengutip Psychology Today, Konsultan Psikiater Inggris, Raj Persaud mengatakan bahwa korban peristiwa harus bertahan hidup dari satu kesulitan traumatis ke kesulitan traumatis lainnya dengan cara yang mirip kartu domino.
Artinya, para penyintas peristiwa kelam sering menganggap mereka yang meninggal sebagai orang yang beruntung.
Pada tahun 1962, seorang psikiater Amerika bernama Robert Lifton mewawancarai para penyintas bom atom di Hiroshima.
Robert mengaku banyak korban yang merasa bahwa hidup dan mati tidak lagi dapat dibedakan dengan jelas. Korban yang terpapar stres berat mencoba melindungi diri dengan menutup diri secara psikologis, hingga muncul rasa bersalah karena tidak dapat bertahan hidup di hadapan kematian orang lain.
Efek kejiwaan itu menjadi permanen dan menghantui mereka sejak saat itu hingga seumur hidupnya. (*)

Redaksi Mitrapost.com