Mitrapost.com – Baru-baru ini, program Makan Bergizi Gratis (MBG) memunculkan sebuah kasus keracunan makanan terhadap 127 siswa di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan 427 siswa di Kabupaten Lebong, Bengkulu, dalam kurun waktu satu bulan, tepatnya Agustus 2025.
Melansir dari laman resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), kasus ini mendapat perhatian dari pihak akademisi UGM, salah satunya Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc.
Melalui hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya tiga jenis bakteri berbahaya, seperti E. coli, Clostridium sp., dan Staphylococcus pada sampel makanan dan muntahan korban, Raharjo mengkonfirmasi adanya kegagalan sistemik dalam proses penyiapan, pengolahan, maupun distribusi makanan.
Dalam menjalankan program MBG, ia mengungkapkan tantangan terbesar pemerintah dalam menjaga standar higienitas makanan terletak pada lemahnya pengawasan terhadap waktu konsumsi makanan.
Pertumbuhan bakteri dipicu dari beberapa hal, di antaranya makanan matang yang disimpan lebih dari empat jam, kualitas air yang digunakan dalam proses memasak, keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya pemahaman penjamah makanan tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Raharjo menuturkan perlunya evaluasi dan perbaikan sistem yang dijalankan secara lebih efektif dari pemerintah daerah maupun penyedia catering.
Bagi pemerintah, diharapkan meningkatkan pengawasan melalui audit rutin, pelatihan berkelanjutan untuk penjamah makanan, hingga memberikan sanksi tegas seperti pencabutan izin jika terjadi kelalaian dari pihak penyedia jasa maupun sekolah.
Sementara bagi penyedia catering harus menerapkan sistem batch cooking, memastikan air bersih, hingga pemberlakuan uji laboratorium mandiri secara berkala.
Selain itu, melalui pihak masyarakat juga diperlukan peran yang mendukung keberlangsungan program MBG. Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan perlu dibiasakan, utamanya bagi siswa.
Bagi orang tua, prioritas keamanan pangan juga menjadi tugas mereka dengan memantau kualitas makanan dan berkomunikasi dengan pihak sekolah jika timbul gejala setelah anak-anak mengonsumsi, sementara masyarakat umum berperan sebagai pengawas tidak langsung dengan melaporkan indikasi pelanggaran keamanan pangan. (*)

Redaksi Mitrapost.com