Mitrapost.com – Jepang dikenal dunia sebagai negara dengan etos kerja tinggi, kedisiplinan, dan budaya profesional yang kuat. Tidak mengherankan apabila negara ini berhasil membangun reputasi sebagai salah satu pusat industri dan teknologi terbesar di dunia.
Di balik kesuksesan tersebut, terdapat sejumlah kebiasaan kerja yang menjadi ciri khas pekerja Jepang. Salah satu hal yang paling menonjol adalah budaya “kaizen”, yaitu filosofi perbaikan berkelanjutan.
Konsep ini mengajarkan bahwa setiap individu dari pekerja tingkat bawah hingga manajemen memiliki tanggung jawab untuk terus melakukan inovasi kecil yang berdampak besar dalam jangka panjang.
Menurut Japan Productivity Center, penerapan kaizen berkontribusi pada efisiensi produksi yang membuat Jepang tetap kompetitif di pasar global.
Selain itu, pekerja Jepang memiliki kebiasaan datang lebih awal dan pulang lebih larut. Walau jam kerja resmi rata-rata 40 jam per minggu, survei dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan Jepang kerap bekerja lembur.
Bahkan, istilah karoshi atau kematian akibat kerja berlebih sempat menjadi isu nasional yang kemudian mendorong pemerintah memperketat aturan jam kerja.
Budaya kerja di Jepang juga sangat menjunjung loyalitas terhadap perusahaan. Banyak karyawan yang bekerja di satu perusahaan hingga puluhan tahun.
Hal ini terkait erat dengan sistem lifetime employment yang pernah populer, di mana perusahaan memberikan jaminan pekerjaan jangka panjang sebagai imbalan atas kesetiaan karyawan. Walaupun sistem ini mulai berkurang, nilai loyalitas masih menjadi standar penting di banyak perusahaan Jepang.
Kebiasaan lain yang unik adalah senam pagi bersama atau rajio taiso. Kegiatan ini biasanya dilakukan sebelum jam kerja dimulai dengan tujuan meningkatkan kesehatan, kebugaran, sekaligus mempererat rasa kebersamaan antarpekerja.
Tradisi ini sudah ada sejak 1928 dan hingga kini masih dijalankan di banyak perusahaan maupun sekolah.
Dalam hal komunikasi, pekerja Jepang dikenal menerapkan konsep honne dan tatemae, yaitu perbedaan antara perasaan pribadi dengan ekspresi yang ditunjukkan di depan orang lain. Hal ini menjadikan interaksi di dunia kerja sangat penuh tata krama dan mengutamakan harmoni.
Tidak jarang, keputusan bisnis dibuat dengan pertimbangan agar tidak menyinggung pihak mana pun.
Meski disiplin kerja tinggi sering dianggap sebagai kekuatan Jepang, beberapa kritik juga muncul. Generasi muda Jepang mulai mempertanyakan budaya kerja yang menekan kehidupan pribadi.
Data Ministry of Health, Labour and Welfare menunjukkan bahwa jumlah pekerja yang mengajukan cuti meningkat 15% dalam lima tahun terakhir, menandakan adanya perubahan pola pikir menuju keseimbangan hidup yang lebih sehat.
Dengan kombinasi tradisi disiplin, loyalitas, dan inovasi, kebiasaan kerja di Jepang terus menjadi sorotan dunia. Budaya ini bukan hanya membentuk wajah industri Jepang, tetapi juga menjadi cermin bagaimana sebuah bangsa menjaga konsistensi dalam bekerja, sekaligus beradaptasi dengan tantangan zaman. (*)

Redaksi Mitrapost.com