Sejarah Krisis Ekonomi Dunia: Peningkatan Harga Emas Selalu Jadi Tanda

Mitrapost.com – Di sepanjang 2025, harga emas dunia telah tercatat mengalami kenaikan mencapai 52 persen hingga pada puncak perdagangannya, Selasa (07/10/2025) dengan patokan sebesar 3.985,48 dolar Amerika Serikat (AS) per troy ons.

Adanya kenaikan yang terus mencetak rekor sebagai yang tertinggi sepanjang masa ini menandakan kekhawatiran dunia menuju krisis atas ketidakpastian yang besar, mengingat emas disebut sebagai aset pelindung nilai global alias safe haven asset.

Melansir dari CNBC Indonesia Research, keadaan ini mengingatkan masyarakat akan fenomena krisis yang pernah terjadi sekitar 10 tahun yang lalu, di mana harga emas selalu tercatat mengalami kenaikan yang signifikan sejak 1978 hingga 2018.

Mulai dari kisaran 1978-1979, dunia menghadapi Second Oil Shock akibat Revolusi Iran yang menimbulkan penyebab lonjakan harga minyak secara tajam, ketidakstabilan ekonomi global, inflasi tinggi hingga timbulnya resesi di beberapa negara.

Pada masa itu, lonjakan minyak membuat ekspor Indonesia jatuh sehingga neraca pembayaran menjadi memburuk. Untuk memperbaiki hal tersebut, Pemerintahan Soeharto melakukan devaluasi rupiah atau penuruan angka sebesar 33 persen dari Rp415 menjadi Rp625/1 dolar AS.

Kemudian pada 1988, banyak negara masih menghadapi ketidakstabilan keuangan setelah Black Monday pada 1987 dimana menandakan jatuhnya pasar saham global. Akibatnya, negara-negara Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina mengalami hiperinflasi dan krisis utang luar negeri.

Sementara Indonesia pada tahun yang sama gejolak perbankan dan kebijakan deregulasi besar-besaran akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi setelah jatuhnya harga minyak dunia pada 1986.

Lalu berjalan pada 1998 di saat Krisis Moneter Asia terjadi hingga berkembang menjadi krisis ekonomi, politik dan sosial, investor asing pun menarik modalnya dan menyebabkan nilai rupiah anjlok dari sekitar Rp2.400/1 dolar AS menjadi lebih dari Rp15.000/1 dolar AS.

Dari fenomena tersebutlah yang menjadikan lonjakan inflasi di atas 70 persen hingga membuat ribuan perusahaan bangkrut, banyak bank kolaps dan PDB Indonesia ikut menyusut sekitar 13,1%.

Lalu pada 2008 telah terjadi Krisis Finansial Global atau yang sering disebut Krisis Subprime Mortgage yang berasal dari Amerika Serikat, terutama dari sektor perumahan dan perbankan.

Hal ini terjadi akibat bank-bank di AS yang memberi pinjaman rumah atau kredit perumahan atau subprime mortgage kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang sebenarnya tidak mampu membayar dan berakhir dijual kembali dengan harapan mendapat untung.

Dari sanalah banyak orang gagal bayar cicilan, bank rugi besar karena asetnya yang masih kredit tidak bisa ditagih hingga menjadi simbol utama krisis, sistem keuangan global membeku, dan bank saling tidak percaya dan menahan pinjaman.

Kemudian pada tahun terakhir 2018, terjadi gejolak ekonomi dunia yang cukup serius disebut oleh banyak analis sebagai mini crisis atau tekanan finansial global, di mana Bank Sentral AS, The Federal Reserve menaikkan suku bunga beberapa kali.

Hal ini mengakibatkan penarikan uang negara berkembang dari investor global yang menyebabkan aliran modal keluar (capital outflow) dari pasar.

Pada masa itu, nilai rupiah melemah tajam hingga menembus Rp15.200/1 dolar AS yang membuat impor jadi mahal dan menekan inflasi.

Sementara harga emas di setiap fenomena krisis selalu mengalami lonjakan sebelum krisis tersebut benar-benar terjadi, menjadi pertanda banyak investor telah bersiap menghadapinya dengan memborong emas. (*)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mitrapost.com  di Google News. silahkan Klik Tautan dan jangan lupa tekan tombol "Mengikuti"

Jangan lupa kunjungi media sosial kami

Video Viral

Kamarkos
Pojoke Pati