Mitrapost.com – Konsep Sekolah Ramah Anak (SRA) menjadi salah satu wujud nyata dari upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan mendukung tumbuh kembang peserta didik secara optimal.
Program ini tidak hanya berfokus pada kegiatan belajar mengajar, tetapi juga menempatkan anak sebagai subjek utama yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, maupun tekanan berlebihan di lingkungan sekolah.
Sekolah ramah anak pertama kali digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Konsep ini selaras dengan Konvensi Hak Anak yang diadopsi oleh Indonesia sejak tahun 1990, yang bertujuan untuk memastikan setiap sekolah menjadi ruang yang menghargai hak anak, memberi rasa aman, serta mendukung tumbuh kembang mereka secara fisik, mental, dan sosial.
Dalam praktiknya, sekolah ramah anak mencakup berbagai aspek penting. Pertama, lingkungan fisik sekolah harus aman dan inklusif. Hal ini mencakup tersedianya fasilitas sanitasi layak, ruang terbuka hijau, area bermain edukatif, serta akses ramah disabilitas.
Kedua, hubungan antara guru, siswa, dan tenaga kependidikan harus dibangun dengan pendekatan humanis untuk menghindari kekerasan verbal maupun fisik dalam proses belajar.
Selain itu, partisipasi siswa juga menjadi kunci utama. Sekolah ramah anak memberi ruang bagi peserta didik untuk berpendapat, berkreasi, dan ikut serta dalam pengambilan keputusan sederhana di lingkungan sekolah.
Misalnya melalui forum anak, kegiatan ekstrakurikuler, atau program student council yang menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kepemimpinan.
Dari sisi kurikulum, pendekatan ramah anak mendorong pembelajaran yang lebih partisipatif dan tidak berorientasi pada tekanan akademik semata. Guru berperan sebagai fasilitator yang memahami perbedaan kemampuan serta karakter setiap anak.
Pembelajaran berbasis proyek, kegiatan kolaboratif, dan penilaian yang menekankan proses daripada hasil akhir menjadi contoh nyata dari implementasi nilai ramah anak.
Implementasi konsep ini juga perlu dukungan dari berbagai pihak, terutama orang tua dan masyarakat. Kolaborasi antara sekolah dan keluarga menjadi elemen penting dalam membentuk lingkungan belajar yang sehat.
Sekolah diharapkan aktif melibatkan orang tua dalam kegiatan parenting, sosialisasi hak anak, serta edukasi tentang pola asuh yang positif.
Meski demikian, penerapan sekolah ramah anak di Indonesia masih menghadapi tantangan. Berdasarkan laporan KemenPPPA tahun 2024, masih banyak satuan pendidikan yang belum sepenuhnya bebas dari praktik kekerasan atau perundungan.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan fasilitas, sumber daya manusia, dan minimnya pelatihan bagi guru terkait pendekatan ramah anak.
Namun, sejumlah daerah telah menunjukkan kemajuan signifikan. Beberapa kota seperti Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung menjadi contoh implementasi SRA yang cukup berhasil melalui program child protection policy dan pelibatan komunitas lokal.
Sekolah-sekolah di wilayah tersebut telah membuktikan bahwa penerapan nilai ramah anak bukan sekadar wacana, melainkan langkah konkret menuju sistem pendidikan yang lebih manusiawi.
Lingkungan belajar yang aman dan menghargai keberagaman akan melahirkan generasi yang lebih empatik, kritis, dan siap berkontribusi bagi masyarakat. (*)

Redaksi Mitrapost.com






