Pati, Mitrapost.com – Kepala Bidang Pengelolaan dan Pengembangan Produk Kelautan dan Perikanan (P3KP) Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati, Johanes Harnoko, menyebut produksi garam tambak di Pati kurang stabil. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor.
Johanes mengatakan, salah satu faktor kurang stabilnya produksi garam di Pati karena peralatan yang digunakan masih sederhana dan masih bergantung pada kondisi cuaca dan iklim.
“Produksi garam dilakukan secara padat karya melalui di tambak dengan peralatan sederhana. Petambak mengandalkan penguapan air dan radiasi matahari. Sehingga produksi garam bergantung lamanya kemarau, tingkat kelembaban dan curah hujan,” jelas Johanes, Sabtu (30/1/2021).
Baca juga: Serapan Garam Rakyat Turun, DKP Pati Bakal Beri Akses Permodalan
Cara produksi secara tradisional ini dinilai kurang efektif, utamanya jika musim penghujan. Petani garam sama sekali tidak bisa melakukan produksi.
“Petambak garam kita, terutama di Pati masih menggunakan cara tradisonal. Yaitu memasukkan air tua di dalam petakan. Selanjutnya menunggu waktu yang cukup untuk melakukan penggarukan garam (kurang lebih 10 hari). Supaya kualitasnya baik,” imbuhnya.
Akan tetapi, kondisi tersebut diakui Johanes tidak hanya dialami di Kabupaten Pati saja.
“Hal ini bukan hanya dihadapi di Pati, akan tetapi sudah menjadi permasalahan penggaraman di seluruh wilayah negara kita,” lanjutnya.
Selain faktor iklim, lanjut Johanes, permasalahan lain petani garam adalah luasan tambak garam yang semakin kecil setiap tahunnya. Hal ini mengakibatkan hasil produksi fluktuatif.
“Imbas dari faktor tersebut mempengaruhi kualitas garam produksi petambak itu sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Dinas Kelautan: Kabupaten Pati Tidak Membutuhkan Garam Industri
Disamping itu, jaringan logistik dan pola distribusi garam juga kurang menguntungkan petambak. Dari fakta yang ditemukan di lapangan, perbedaan keuntungan antara harga yang di tambak dengan harga di konsumen setelah diolah sangat jauh.
“Kalau harga dari petani sebesar Rp300/kg. Sedangkan harga jual garam hasil olahan industri di pasaran sebesar RP8.000 sampai Rp12.000/ kg.”
Dalam menyiasati realita tersebut, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati memiliki tugas rumah untuk penguatan hulu agar mempermudah penanganan hilir.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Garam Lokal, Berikut Upaya DKP Pati
Tantangan pengolahan garam sekarang berada pada teknik produksi masih tradisional. Oleh sebab itu perlu ada strategi meningkatkan mekanisasi pengolahan garam lokal.
Hal itu dapat dimulai dengan penggunaan teknologi produksi berupaunit filter, geo-membran, prisma dan lain-lain.
Ia menjelaskan, merujuk dari arahan presiden pada rapat terbatas 10 Desember 2019 petambak garam harus keluar dari aktivitas on-farm menuju off-farm. Melalui PUGAR petambak garam dibiasakan supaya menerapkan kegiatan usaha penggaraman secara komunal/kelompok dan didorong menuju budaya korporasi. (*)
Baca juga: Permintaan Garam Kualitas Industri Jadi Tantangan Petani Garam di Rembang
Jangan lupa kunjungi media sosial kami, di facebook, twitter dan instagram
Redaktur : Ulfa PS