Quiet quitting merupakan fenomena yang akhir – akhir ini menjadi tren di kalangan para pekerja jaman sekarang. Para pekerja yang didominasi oleh gen Z dan gen Y ini sering menyebutkan istilah quiet quitting. Sebenarnya apa istilah quiet quitting tersebut? Apa kaitannya dengan pekerjaan?
“Kerja cukup begini aja, seperlunya, yang penting gaji stabil dan hati tenang”, prinsip ini kerap kali dipegang oleh banyak pekerja muda. Banyak orang yang cenderung memilih mengamankan pekerjaan dan kebahagiaan mereka. Dengan kata lain, work life balance kini telah menjadi tujuan utama banyak pekerja. Kesadaran membangun budaya kerja seperti ini tentunya sangat baik bagi produktivitas dan kebahagiaan dalam hidup.
Fenomena ini pada akhirnya bertujuan untuk menghadirkan work-life balance yang ideal, sekalian batasan sehat antara dirimu sebagai manusia dan pekerja. Banyak orang memilih untuk mengerjakan tugas-tugas sesuai kapasitas, kemudian pulang, dan memutus komunikasi ketika jam kerja selesai. Pilihan semacam itu bukanlah hal baru, begitu pula dengan “bekerja sesuai standar”. Gen Z pun bukan satu-satunya generasi yang pernah merasakan burnout.
-
Apa Itu Quiet Quitting
Banyak pekerja tiba-tiba menyadari, bahwa overworking tidak meningkatkan kariernya dan produktivitas bukanlah segalanya. Sederhananya, quiet quitting adalah sebutan untuk bekerja seadanya. Melakukan pekerjaan sesuai upah dan menolak pekerjaan tambahan tanpa bayaran yang pantas. Quiet quitting dalam arti yang lain adalah bekerja pasif, tak berinisiatif, juga menyimpan masukan jika tak diminta bicara.
Pada satu sisi, fenomena ini dapat menyeimbangkan produktivitas dan kebahagiaan hidup. Di sisi lain, fenomena ini dapat membatasi diri sendiri untuk berkembang dan mempelajari skill baru.
Gagasan untuk berhenti tiba-tiba atau menarik diri perlahan dari banyak pekerjaan mulai viral di media sosial. Quiet quitting sebenarnya sudah ada sejak lama, namun popularitasnya baru naik belakangan ini.
-
Praktik Quiet Quitting Dalam Dunia Kerja
Mengutip Tech Target, Fenomena ini bukan berarti berhenti kerja melainkan seorang karyawan membatasi tanggung jawab hanya pada tugas-tugas yang berada dalam deskripsi pekerjaan mereka untuk menghindari jam kerja yang lebih lama.
Para karyawan masih memenuhi tugas pekerjaan mereka tetapi tidak menganut budaya “Work is life” dalam karier mereka. Mereka juga tidak ingin menonjol di hadapan atasan demi kenaikan jabatan atau manfaat lainnya. Berikut praktik-praktik yang sering terjadi di tempat kerja:
- Bekerja keras seminimal mungkin untuk menyelesaikan tugas dan menetapkan batasan serta fokus pada work life balance.
- Menghilangkan pola pikir untuk dipromosikan atau dinaikkan gaji.
- Menolak pekerjaan lembur atau kerja tambahan.
- Benar-benar tidak memikirkan pekerjaan saat jam kantor berakhir dan fokus mengurusi hal di luar pekerjaan.
Cara mengidentifikasi apakah orang dengan quiet quitting di sekitar adalah melihat apakah ada orang yang selalu menolak untuk lembur juga selalu menolak adanya pekerjaan tambahan. Selain itu, orang dengan quiet quitting juga selalu menolak bekerja di luar jam kantor.
Orang dengan quiet quitting biasanya tampil berperan seadanya, dan cenderung menolak berperan lebih. Lalu orang dengan quiet quitting juga bekerja lebih sedikit dan seperlunya saja. Mereka memegang teguh work life balance, sehingga waktunya seimbang antara keluarga, teman, keinginan pribadi dengan pekerjaan. Maka, mereka akan menolak bekerja diluar keharusan.
-
Alasan Pekerja Menerapkan Quiet Quitting
Quiet quitting timbul akibat jam kerja pada masa pandemi yang tidak teratur dan berantakan. American Psychological Association menyebutkan kelelahan dan stres para pekerja saat pandemi memuncak.
Sistem ‘work from home’ membuat pekerjaan bisa dilakukan setiap waktu, setiap saat, dan di manapun karyawan berada menyebabkan banyaknya tambahan pekerjaan dan sulitnya mengatur pekerjaan tersebut dengan prioritas kegiatan lain di keseharian. Akibatnya, muncul ide ‘quiet quitting’, yang semula marak di media sosial TikTok khususnya di generasi milenial dan gen Z.
Kadangkala, lingkungan kerja juga berpengaruh dalam kinerja seseorang. Seperti salah satu penyebab quiet quitting juga karena minimnya apresiasi di lingkungan kerja serta lingkungan kerja yang dianggap kurang “bersahabat”. Selain itu, penyebab quiet quitting terakhir adalah adanya pemikiran work life balance.
Quiet quitting disebut sebagai respon dari gagasan great resignation. Hal ini berdasarkan fenomena naiknya jumlah para pekerja yang mengundurkan diri setelah pandemi Covid-19. Salah satu alasannya karena merasa tidak puas dan tidak aman dengan pekerjaannya.
Bagi Gen Z dan Gen Y, cara terbaik untuk mengatasi ketidaknyamanan di tempat kerja adalah menerapkan quit quitting. Cara tersebut dilakukan untuk mengurangi pekerjaan, meringankan beban kerja, dan pada akhirnya mencapai work life balance, sebab mencari pekerjaan baru sudah tidak memungkinkan.
-
Prinsip Quiet Quitting Bagi Kesehatan Mental
Studi menyebutkan bahwa work life balance atau keseimbangan kerja dan hidup berkaitan dengan kesehatan mental di berbagai bidang pekerjaan.
Banyak pekerja muda yang sangat berambisi mengejar karir dan bonus. Mereka rela bekerja ekstra, lembur, hingga mengambil pekerjaan sampingan. Pada satu sisi, mereka memang mendapatkan upah yang lebih besar. Di sisi lain, kebahagiaan dan ketenangan hidup harus ditumbalkan.
Minimnya waktu istirahat dan liburan jadi pemicu generasi muda rawan mengalami stress atau burn out dalam pekerjaannya. Alhasil, para pekerja ini akan mengalami penurunan produktivitas yang drastis, dan berpengaruh juga pada kondisi kesehatannya.
Quiet quitting mengingatkan para pekerja untuk mengembalikan keseimbangan antara hidup dan pekerjaan. Dengan menyeimbangkan hidup dan pekerjaan, kamu bisa meyakini bahwa nilai dirimu lebih tinggi dari sebuah karier.
Ingatlah untuk bekerja seefektif mungkin, seimbangkan dengan kebahagiaan dalam hidup. Jalani hobi, menghibur diri, dan menghindarkan diri dari kemungkinan burnout akibat pekerjaan.
Seorang psikolog Lee Chamber mengatakan, quet quitting dapat menjadi coping mechanism untuk mengatasi burnout atau rasa jenuh akibat overwork yang kronis. Terlebih saat seorang pekerja merasa kerja kerasnya kurang dihargai.
Adanya jarak antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan, menurutnya juga dapat memperkaya seseorang dengan hal lain seperti bersosialisasi. Secara tidak langsung, quiet quitting menurutnya dapat meningkatkan produktivitas.
-
Dampak Bagi Pekerja
Tentunya manfaat sehat yang ditawarkan dalam tren quiet quitting bukan tanpa risiko. Ada kemungkinan bahwa Atasan menyadari hal itu lalu menganggap seseorang tidak lagi punya motivasi untuk bekerja keras.
Di sisi lain, quiet quitting juga berisiko membuat seseorang kehilangan rasa terlibat, kehilangan tujuan, dan juga kepuasan dalam bekerja. Padahal, hal-hal tersebut juga penting dalam kaitannya dengan mental health.
Perusahaan juga tentu tidak akan betah punya pekerja yang cenderung mempunyai kinerja buruk bagi perusahaan tersebut dan yang sangat disayangkan adalah mereka yang menyianyiakan kesempatan dan peluang yang bagus untuk karir mereka.
Itulah penjelasan tentang fenomena quiet quitting yang kini sedang ramai dibicarakan. Apakah kamu sudah menerapkan prinsip kerja ini?