Pati, Mitrapost.com – Warga RT 06 RW 02 Desa Trangkil, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati yang bernama Sukesi, seorang janda sebatang kara ini bernasib tragis. Pasalnya, janda buta tulis ini mendapat panggilan dari Pengadilan Negeri (PN) 1A Pati untuk sidang kasus penyelesaian hutang piutang pada tahun 2020 lalu.
Betapa kagetnya Sukesi, karena di PN, ia dipaksa menandatangani surat pengakuan hutang sebesar Rp 75 juta dan oleh hakim diputuskan wajib membayar sebesar Rp 80 juta pada 02/8/2020.
“Saya hanya bisa menulis nama saya. Jadi waktu sidang saya diminta tanda tangan ya saya tandatangani. Tapi tidak tahu apa isinya itu. Selanjutnya sertifikat tanah saya juga diminta dan tanda tangan di notaris. Karena saya tidak tahu, saya asal ikut saja. Dan tahu-tahu katanya rumah saya mau dieksekusi,” ucap Sukesi saat ditemui di kediamannya, Senin (3/10/2022).
Sukesi kini tak bisa berbuat apa-apa. Ia pun mengaku pasrah tak tahu lagi mau kemana jika benar-benar dilakukan eksekusi tanah dan bangunan oleh Pengadilan Negeri (PN) 1A Pati.
“Saya tak tahu harus mengadu kepada siapa. Semoga masih ada orang-orang yang peduli. Besok (Selasa, 04/10/ 22) rencana ada panggilan lagi dari pengadilan,” ucap Sukesi saat ditemui di kediamannya, Senin (3/10/2022).
Lantas Sukesi menceritakan kronologi dari awal kenapa hal tersebut bisa terjadi. Mulanya Sukesi mengenalkan Sanipah, kenalannya di pasar dengan karyawan bernama Bambang pada 2011 lalu. Sanipah akhirnya menjalin hubungan asmara dengan pria tersebut. Saat itu Sukesi mengetahui, jika apapun yang Bambang minta, selalu dituruti Sanipah, termasuk urusan finansial.
“Awalnya kenalan dulu di Pasar Trangkil. Karena Sanipah memang punya los untuk berjualan pakaian di pasar. Dan setelah kenal, ia berkunjung ke rumah saya dan minta dikenalkan kepada laki-laki bernama Bambang itu,” jelas Sukesi.
Saat awal perkenalan, Sukesi sering disuruh Sanipah menghantar kiriman kepada pujaan hatinya. Karena disuruh itulah, maka Sukesi juga meminta uang operasional kepada Sanipah.
“Wajarkah jika saya minta yang bensin. Karena memang saya sering disuruh. Ya mengantar makanan, kadang juga pakaian. Nominalnya pun antara Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu. Jadi waktu itu saya bilangnya minta bukannya hutang,” tutur Sukesi.
Setelah dekat dan hubungan mereka berjalan, Sukesi tak pernah lagi berkomunikasi dengan keduanya. Jelang beberapa tahun kemudian, ia mendengar jalinan asmara mereka putus.
“Mungkin karena merasa dibohongi Bambang, Sanipah kembali menghubungi saya. Saya kaget, tiba-tiba ditagih hutang. Kemungkinan, saya dianggap ada kongkalikong dengan Bambang,” pungkasnya. (*)