Mitrapost.com – Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia hanya mampu membiayai kebutuhan air minum perpipaan sebesar 37 persen.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pembiayaan infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Herry Trisaputra Zuna.
Sedangkan saat ini, kebutuhan air minum perpipaan rumah hanya 20 persen saja.
“Untuk air minum perpipaan misalnya, kita baru di angka 20%, selebihnya belum dilayani dengan sistem perpipaan. Sehingga kita masih punya beban untuk menyediakan 80% lagi,” jelasnya dilansir dari CNBC Indonesia.
Agar bisa memenuhi kebutuhan 80 persen sisanya, jelasnya, perlu biaya minimal Rp1.000 triliun. Kebutuhan 10 persen perpipaan sambungan rumah saja memerlukan Rp123,4 triliun.
Lebih lanjut, untuk bisa memenuhi 63 persen sisa yang tak ditanggung APBN perlu dilakukan melalui pembiayaan inovatif, misalnya dengan bekerja sama dengan swasta.
“Untuk bisa melibatkan mereka harus memahami mereka juga. Tidak bisa ajak swasta tapi berpikirnya seperti kita membangun sendiri. Jadi apa yang jadi concern swasta harus kita identifikasi, susun sedemikian rupa sehingga swasta tadi nyaman,” jelasnya.
Untuk itu, menurutnya pemerintah perlu memenuhi kepastian untuk pihak swasta salah satunya dana investasi yang menguntungkan. Kemudian bisnis model penyediaan air minum juga perlu dilihat secara utuh dalam satu perencanaan.
Semua pihak perlu menyelaraskan pembangunan perpipaan air secara hulu ke hilir atau dikenal source to tab.
“Tidak harus dalam satu kontraktual, yang penting dalam satu kesatuan perencanaan. Jadi waktu kita menyiapkan pembangunan WTP sisi hulu, dalam waktu sama kita juga sudah menyiapkan bagaimana sambungan rumah bisa tersedia pada saat WTP terbangun,” jelasnya.
“Selama ini hulunya dilakukan kerja sama dengan swasta, hilirnya sendiri. Nah ini yang harus kita ubah agar dalam waktu bersama, ini juga harus kita kerja samakan. Seperti itu yang hilirnya,” lanjutnya. (*)
Redaksi Mitrapost.com