Mitrapost.com – Polemik penetapan waktu Subuh kembali ramai dibahas publik. Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menanggapi hal tersebut dengan menegaskan bahwa jadwal salat nasional, termasuk Subuh tidak dibuat berdasarkan perkiraan semata.
Melansir dari Detik, penetapan jadwal salat dilakukan melalui ijtihad kolektif yang menggabungkan antara proses kajian astronomi, verifikasi lapangan, serta referensi fikih yang di dapat dari berbagai mazhab.
Dalam hal ini, Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, mendeskripsikan fajar shadiq sebagai suatu cahaya putih horizontal di ufuk timur yang kian melebar. Pendeskripsian ini sudah lama dibahas para ulama yang kemudian diuji dengan pendekatan astronomi modern.
“Fikih memberi definisi, astronomi membantu mengukur. Sinergi keduanya penting agar penetapan ibadah memiliki dasar yang lengkap,” jelas Arsad dalam keterangan persnya, dikutip Senin (08/12/2025).
Sementara, pemilihan derajat kemunculan fajar shadiq di Indonesia sekitar -20° berdasar pada hasil musyawarah dari para pakar falak dan diskusi panjang lintas-ormas serta ahli fikih dengan hasil observasi selama bertahun-tahun.
Perihal kemunculan cahaya fajar dipengaruhi oleh karakter atmosfer kawasan tropis, di mana faktor kelembaban, ketebalan, hingga polusi cahaya membuat kurva intensitas fajar di Indonesia berbeda dengan negara dalam lintang sedang.
“Inilah sebabnya verifikasi lokal menjadi sangat penting. Kita tidak bisa hanya mengadopsi standar negara lain tanpa pengujian,” ucapnya.
Kemudian, Arsad juga menepis tudingan adanya manipulasi data dalam penetapan waktu Subuh, karena Kemenag secara terang-terangan membuka seluruh data observasi termasuk foto, rekaman pengamatan, dan laporan teknis untuk dapat ditelaah publik. (*)

Redaksi Mitrapost.com
