Urip mengatakan tidak ada bukti ilmiah antara Omicron dengan polusi udara.
“Sampai saat ini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan adanya keterkaitan antara sebaran konsentrasi PM2,5 dan penularan COVID-19. Sehingga pernyataan yang menyebutkan bahwa PM 2.5 sebagai penyebab COVID-19 tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat,” kata Urip.
“Lonjakan konsentrasi PM 2,5 yang terjadi misalnya di tanggal 5, 16, dan 30 Januari tidak seiring dengan penambahan kasus positif COVID-19 sehingga pernyataan yang menyebutkan bahwa paparan PM 2,5 menyebabkan peningkatan kasus positif COVID-19 tidak sesuai,” tambah Urip.
Meski begitu, pihak BMKG juga tidak menampik paparan kondisi udara tercemar yang tinggi tersebut dapat meningkatkan risiko terhadap pasien Covid-19. Terutama pada pasien yang memiliki riwayat penyakit saluran pernapasan.
“Oleh karena itu, upaya untuk mitigasi terhadap dampak pencemaran udara dan pengurangan risiko paparan terhadap PM 2,5 dan polutan udara lainnya perlu terus dilakukan guna meminimalkan tingkat mortalitas dari COVID-19,” kata Urip. (*)