Pati, Mitrapost.com – Menjaga kelestarian hutan menjadi salah satu langkah utama untuk mencegah bencana kekeringan dan banjir yang kerap terjadi setiap tahun di Kabupaten Pati.
Pasalnya Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pernah memprediksi bahwasanya puncak musim kemarau yakni terjadi pada bulan Agustus hingga September 2023. Sedangkan dibulan Oktober 2023 sampai April 2024 menjadi musim penghujan.
Faktanya, dibulan Oktober 2023 masih menginjak di musim kemarau. Bahkan musim kemarau saat ini lebih ekstrem dibanding dengan bulan-bulan sebelumnya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pati, Martinus Budi Prasetya selalu mengingatkan kepada seluruh masyarakat untuk selalu waspada terhadap bencana yang sering terjadi di Pati. Dan dua diantaranya yakni kekeringan dan banjir.
“Saya mengimbau kepada semua pihak OPD (Organisasi Perangkat Daerah), Instansi Vertikal, dan semua pihak terkait untuk mengambalikan hutan lindung dan menjaga kelestarian hutan kita. Apalagi mengingat bahwa banjir dan kekeringan itu selalu ada disetiap tahun. Salah satu penyebab yang tidak dipungkiri adalah kerusakan hutan,” kata Martinus kepada Mitrapost.com, Rabu (18/10/2023).
Lebih lanjut, bencana kekeringan di Pati terjadi lantaran hilangnya sumber air di hutan maupun pegunungan yang mengakibatkan sampai saat ini masih mengalami kesulitan air bersih. Terlebih di daerah Kendeng dan Tayu sekarang tengah menjadi tanaman-tanaman musim seperti jagung, tebu, maupun ketela.
Selain itu, tambah Martinus, jika di Pati mengalami puncak musim hujan dan air di hutan tidak bisa menyerap air juga akan mengakibatkan banjir. Sehingga dalam hal ini perlu adanya penegasan dalam pengembalian fungsi hutan untuk mencegah terjadinya bencana.
“Jadi fungsi hutan yang sebaiknya menjadi fungsi lindung untuk menahan air, untuk menahan tanah longsor dan menjadi tempat resapan air. Dan air itu keluar dalam tanah dalam bentuk mata air itu semakin berkurang jauh. Karena jadi tanaman-tanaman musim seperti jagung, untuk wilayah selatan Kendeng dan Tayu didaerah utara. Dan kalau air yang ditahan oleh akar pohon dihutan tidak kuat maka akan terjadi banjir hingga tanah longsor,” lanjut dia.
Kendati demikian, pernyataan ini akan terus menjadi pemikiran bersama. Meskipun tidak seperti yang diharapkan, setidaknya ke depannya tidak lagi mengalami bencana kekeringan dan banjir di Kabupaten Pati.
“Ini harus jadi pemikiran bersama. Untuk mengambalikan kelestarian hutan lindung kita. Supaya cukup memberi pengamanan ketika musim hujan dan mengurangi longsor pada tanahnya. Sedangkan di musim kemarau, hutan kita cukup menyediakan kebutuhan air kepada masyarakat dalam bentuk sumber-sumber mata air,” ujarnya.
“Barang kali hasilnya tidak bisa seperti saat ini, setidaknya kedepannya tidak lagi mengalami kesulitan air bersih seperti musim kemarau dan tidak mengalami kebanjiran saat musim penghujan,” imbuh Martinus. (*)