Jaga Habitat Rajungan, Begini yang Dilakukan Nelayan Rembang

Rembang, Mitrapost.com – Menanggapi peraturan menteri nomor 12/PERMEN-KP/2020 yang mengatur ketentuan penangkapan dan ekspor rajungan, salah satu kelompok nelayan rajungan meresponsnya dengan baik.

Hal itu diungkapkan oleh Ahmad Saerozi saat ditemui di rumahnya pada Jumat (8/1/2021). Saerozi yang menjabat sebagai sekretaris kelompok nelayan di Desa Manggar, Sluke, Rembang mengatakan selama ini kelompok nelayannya patuh terhadap penggunaan terkait penggunaan alat tangkap berdasarkan peraturan yang ada. Terlebih dengan penggunaan alat tangkap statis yang biasa disebut bobo.

Baca juga: Latih Komunikasi Prajurit, Kodim Rembang Hadirkan Motivator

Saerozi mengungkapkan bahwa alat tangkap bobo yang ia gunakan dalam mencari rajungan banyak memberi keuntungan. Selain tidak melanggar aturan, alat ini menurut Saerozi mampu tetap menjaga dan tidak merusak habitat asli dari keberadaan rajungan.

“Jadi bobo itu keunggulannya banyak.  Ya salah satunya tidak merusak karang dan tempat rajungan berkelompok,” ungkapnya.

Namun, penggunaan bobo ini menurut Saerozi memiliki banyak tantangan akhir-akhir ini.  Mulai dari cuaca, aktivitas nelayan lain hingga kepunyaan modal yang dimiliki para nelayan.

Baca juga: Pemkab Rembang Upayakan Pemdes Bisa Segera Cairkan Anggaran Bantuan

Lebih jauh Saerozi memaparkan, cuaca dan aktivitas nelayan pencari ikan menjadi salah satu penyebab hilangnya bobo yang ia pasang. Pasalnya di area Rembang sendiri banyak nelayan yang menggunakan pukat harimau, yang menurut Saerozi tidak hanya merusak terumbu karang namun juga kadang membawa bobo dari penangkap rajungan.

Selain itu, aktivitas tongkang juga menjadi kendala tersendiri terkait pemasangan bobo. Minggu lalu misalnya, Saerozi harus kehilangan sekitar 100 bobo dari 400 bobo yang di pasang di tengah laut.

Baca juga: Pemkab Rembang Kembali Pertegas Peran Jogo Tonggo

“Kemarin saya kehilangan bobo 100. Kayaknya dibawa tongkang. Karena cuaca buruk saya tidak bisa ngecek ke sana sehingga saya tidak punya bukti. Kalau punya bukti pasti di ganti,” imbuhnya.

Saat disinggung terkait susahnya rajungan akhir-akhir ini, Saerozi mengungkapkan karena rusaknya habitat serta dampak dari limbah. Pasalnya di area Sluke sendiri merupakan daerah yang memiliki beberapa perusahaan yang limbahnya ke laut.  Sehingga mau tidak mau, nelayan harus ke tengah untuk mencari rajungan.

“Sampah-sampah rumah tangga itu juga yang bisa menyebabkan rajungan semakin jauh juga,” tutupnya. (*)

Baca juga: 

Jangan lupa kunjungi media sosial kami, di facebook, twitter dan instagram

Redaktur: Atik Zuliati

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=Mm7z9vDgxhQ[/embedyt]