Yogyakarta, Mitrapost.com – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau lebih dikenal dengan sebutan Jogja memiliki keistimewaan tersendiri bagi setiap orang yang mengunjunginya. Bahkan kata ‘istimewa’ secara resmi tercantum pada nama provinsi tersebut.
Sosial budaya, wisata, kuliner, ekonomi dan keunikan lainnya seolah menjadi daya tarik ketika mendengar nama Kota Budaya itu. Selain itu, Jogja juga mendapat julukan familiar dengan sebutan Kota Pelajar karena banyaknya institusi pendidikan di kota kelahiran Presiden RI ke-2 Soeharto itu.
Namun, di balik keistimewaan Jogja tersimpan sisi kelam tersendiri. Sisi kelamnya Jogja tergambar dari maraknya aksi kekerasan jalanan atau biasa disebut klithih.
Klithih di Yogyakarta menjadi sorotan publik. Aksi yang biasa dilakukan oleh remaja usia SMP maupun SMA itu diketahui sudah lama terjadi dan sangat meresahkan masyarakat.
Menurut sosiolog kriminal Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto, awal mula adanya klithih sebenarnya memiliki makna positif. Karena dalam bahasa Jawa, ‘klitih’ memiliki arti kegiatan di luar rumah untuk mengisi waktu luang.
Hanya saja, makna ‘klitih’ kemudian menyimpang karena dalam mengisi waktu luang itu justru digunakan untuk melakukan tindakan kejahatan di jalan.
Saat ini klithih dimaknai sebagai aksi kejahatan yang dilakukan remaja jalanan di Jogja pada malam hari.
Ilustrasi tindakannya adalah aksi penyiletan terhadap orang lain. Biasanya pelaku klithih adalah sekelompok geng yang berusaha menyerang lawannya. Tetapi kadang menyasar ke masyarakat umum yang sama sekali tidak dikenal dan tak bersalah.
Meskipun demikian, klithih diyakini bukan kejahatan bawaan lahir, tetapi dilakukan secara sadar. Kebanyakan motif pelaku adalah balas dendam, rasa tidak suka, atau sekadar mencari-cari kegiatan sebagaimana makna asli dari klitih.
Aksi klithih sebagai kenakalan remaja bukanlah kenakalan biasa, karena banyak memakan korban dengan cara melukai fisik. Korban yang dipilih pun tidak pandang bulu. Mayoritas sesama remaja, namun mahasiswa hingga orang dewasa pun tak luput menjadi korban aksi yang marak di Jogja ini.
Para pelaku aksi klithih tidak segan-segan melukai korban dengan cara membacok, memukul, bahkan menyerang menggunakan senjata tajam secara sadis.
Berbeda dengan begal biasa. Begal hanya merampas harta korban, tetapi pelaku klithih biasanya cukup puas melihat korban terluka dan tidak berdaya. Mereka akan meninggalkan korban terkapar begitu saja.
Adapun faktor yang menyebabkan maraknya aksi tersebut. Yaitu faktor lingkungan dan internal remaja.
Lemahnya kontrol diri remaja memengaruhi kepribadian pelaku dalam berperilaku positif maupun negatif.
Selain itu, maraknya aksi klithih di Jogja disebabkan oleh faktor internal berupa masa pubertas yang berpengaruh pada ego dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang orang tua, masalah keluarga, hubungan dengan kelompok, hubungan dengan lingkungan, serta karakter individu sangat berpengaruh pada perilaku klithih di Jogja.
Sementara itu, yang menjadi faktor determinasi atau penentu aksi klithih adalah kesesuaian dengan kelompok.
Jadi, klithih adalah sarana bagi para remaja untuk mendapat perhatian orang tua sekaligus melampiaskan emosi.
Terkadang hal yang mendasari perilaku klithih adalah hubungan keluarga atau orang tua yang memiliki masalah, dinamika interaksi remaja dengan kelompok, serta karakter individu itu sendiri. (*)
Redaksi Mitrapost.com