Faktor Kejadian Tidak Diharapkan di Dunia Medis

Semarang, Mitrapost.com – Belum lama ini Kota Semarang digegerkan dengan dua kasus dugaan malapraktik yang menyebabkan pasien meninggal dunia dan berbuntut laporan di Polda Jateng. Rumah Sakit Hermina dan Rumah Sakit Telogorejo menjadi sasaran terlapornya. Apakah benar tindakan seorang dokter yang mengakibatkan cacat atau kematian adalah bentuk tindakan malapraktik.

Ketua Perhimpunan Dokter Ahli Hukum Kesehatan dan Kedokteran Indonesia (Perdahukki) Cabang Jawa Tengah, Hansen, SKed, dr, SH, MH, menjelaskan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) dapat terjadi karena adanya peristiwa yang diakibatkan suatu kelalaian medis dan suatu risiko medis. Sedangkan risiko medis dibagi kedalam dua kelompok. Pertama risiko medis yang dapat diduga (foreseen).

“Contoh faktor Komorbid antara lain HT, hiperglikemia, hipoglikemia, kelainan kongenital yang telah diketahui sebelumnya, dan lain-lainnya,” kata dr Hansen, Sabtu (13/3/2021).

Baca Juga :   Telah Diresmikan, Museum Sekolah SMPN 1 Ungaran Dibuka Untuk Umum

Baca juga: Vaksinasi Covid-19 Beri Sugesti Positif Psikologi Anggota Dewan Pati

Kedua, lanjutnya, risiko medis yang tidak dapat diduga (Unforeseen), namun tetap dapat diupayakan dengan kehati-hatian sebagai upaya penyelamatan. Ia mencontohkan, alergi obat-obatan tertentu yang tidak diketahui sebelumnya atau memberikan obat-obatan tertentu yang diketahui bahwa obat yang diberikan sudah sesuai jenis dan takaran dosisnya, namun isinya masuk faktanya berbeda.

“Berdasarkan fakta yang ditemukan isi yang masuk berbeda, bisa diduga karena faktor lemah atau kurang ketelitian dan kehati-hatiannya QC saat memproduksi. Kejadian ini juga pernah terjadi terhadap produsen obat X,” ungkap anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Tengah.

Untuk menanggulangi masalah itu, dr Hansen, mengatakan perlunya mengetahui informed yang artinya diinformasikan, dan consent yang artinya menyetujui. Langkah itu, lanjutnya, merupakan suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien yang cakap hukum atau keluarganya bila pasien belum cakap hukum kepada dokter atau dokter gigi untuk dilakukannya tindakan medis yang risikonya telah diketahui dan disetujui oleh pasien bila cakap hukum atau keluarganya bila pasien belum cakap hukum.

Baca Juga :   Pemkot Semarang akan Bangun TPU Baru di Kampung Melon Gunungpati

Baca juga: Jokowi Tinjau Vaksinasi 1.000 Tokoh Agama di Semarang

“Informed Consent akan menjadi suatu bentuk perjanjian dalam dunia kedokteran (perjanjian terapeutik), yang pada prinsipnya mengikuti ketentuan yang ada dalam perjanjian pada umumnya sebagaimana yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata,”jelasnya.

Menurut founder Kantor Hukum Cs & Partners, itu melalui catatan penting. Maka semua masalah itu bertujuan memberikan upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan guna penyembuhan. Hal itu sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, sebagai bentuk perikatan upaya penyembuhan bukan perikatan untuk memberikan jaminan kesembuhan.

“Memang tidak semua tindakan medis berisiko tinggi memerlukan Informed Consent. Khususnya dalam kondisi yang mengancam nyawa dan/atau dapat menimbulkan kecacatan, maka Informed Consent dapat diabaikan,”ungkapnya.